Minggu, 28 Juni 2015

TAWASSUL

HAKIKAT IBADAH

     Secara etimologis (lughawi) ,para ulama mengartikan ibadah dengan makna ketundukan yang lahir dari puncak kekhusyukan,merendahkan diri dan kepatuhan kepada Allah SWT.
Al-imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Sari al-Zajjaj (241-311 H/855-924 M)-pakar bahasa arab dan tafsir berkata:
"Ibadah dalam bahasa arab adalah ketundukan yang disertai kerendahan diri kepada Allah SWT"
Al-imsain bin abu al-qasim al-husain bin muhammad bin mufadhdhal yang dikenal dengan al-raghib al-ashfihani  (W. 502 H/1240-1355 M) pakar bahasa dan tafsir berkata dalam kitabnya Mu'jam Mufradat Alfazh al-Qur'an:
"ibadah adalah puncak dari kepatuhan dan kerendahan diri kepada Allah"
Al-Imam al-Hafizh taqiyyuddin al-Sub ki (683-756 H/1240-1355 M) pakr fiqih dan bahasa dan tafsir,ketika mentafsirkan ayat "iyyakana'budu" dalam surat al-Fatihah ayat 5 beliau berkata:
"Yakni kepada-Mulah kami khususkan beribadah yang merupakan puncak kekhusyukan dan kerendahan diri"

     Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan ketundukan ,kepatuhan,puncak dari penghambaan diri dan kerendahan diri kepada Allah SWT.Ibadah dalam pengertian ini,tentu hanya diberikan kepada Allah SWT,tidak kepada yang lain-Nya.
   Oleh karena itu memanggil orang hidup atau yang sudah meninggal ,mengagungkan,ber-istighotsah,berziarah ke makam para waliyullah untuk ber tabarruk untuk berdoa kepada Allah dengan membawa sesuatu yang di cintai Allah,bukan berdoa minta tolong kepada orang mati,bukanlah perbuatan syirik yang dilarang agama.

POSISI SANG KHALIQ DAN MAKHLUK

     Kajian tentang posisi sang Khaliq dan makhluk cukup signifikan dalam konteks ilmu Tauhid,na hal ini akan menjadi garis demarkasi yang cukup tegas (al-hadd al-fashil) dalam rangka menilai dan menakar apakah seseorang masih di anggap sebagai orang muslim atau sudah di anggap menyeleweng dan tersesat dari ajaran islam.
   secara sederhana dapat ditegaskan bahwa al-Khaliq adalah merupakan Dzat penentu segalanya,yang mendatangkan manfaat dan mudharat dan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Ini adalah merupakan posisi sang Khaliq yang dimiliki oleh makhluk.Sedangkan makhluk hanyalah merupakan hamba yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan syafaat ,bahaya,kematian,kehidupan,dan lain-lain.
   sebagaimana hal ini di tegaskan didalam al-Qur'an surah al-A'raf :188 yang berbunyi:

"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudhorotan kecuali yang dikehendaki Allah. Dean sekiranya aku mengetahui yang ghaib,tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan tertimpa kemudharatan.Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan,dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman"

  Kesadarn akan posisi al-khaliq dan makhluk ini pada akhirnya memjadikan kita dapat menilai dengan pasti apakah praktik amaliyah keseharian kita termasuk  dalam kategori syirik atau tidak.Ketika seseorang mencoba mencampur adukkan antara posisi al-khaliq dengan makhuk,misalnya meyakini bahwa sebagian makhluk memiliki kemampuan untuk mendatangkan mudharat dan manfaat tanpa dengan izin dan kehendak Allah SWT,maka dapat di pastikan bahwa yang bersangkutan telah melakukan perbuatan syirik yang nyata. Ziarah kubur,tawassul,istighatsah,bershalawat,membaca burdah,dan lain sebagainya tidak berefek apa-apa terhadap kemurnian iman dan tauhid kita,ketika kita tetap berkeyakinan bahwa Dzat yang mampu mendatangkan manfaat dan mudarat hanya Allah SWT.


.HAKEKAT TAWASSUL

    Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyudin al-Subki menegaskan bahwa tawassul,istisfa,istighatsah,isti'anah,tajawwud dan tawajjuh,memiliki makna dan hakekat yang sama.Mereka mendefinisikan tawassul dan istilah-istilah lain yang sama dengan definisi sebagai berikut:
"Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram) keduanya"
(Al-Hafizh al-'Abdari,al-syarh al-Qawim,Hal.378)


   Sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan dari bahaya secara hakiki.

   Persepsi keliru bin ngawur seperti ini tentang tawassul,kemudian membuat mereka menuduh orang bertawassul sebagai orang KAFIR dan MUSRIK.
Padahal kakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datannya manfaat (kebaikan atau terhindarnya bahaya (keburkan) kepada Allah SWT  dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.

 Kesembronoan kaum wahabi yang mendefinisikan tawassul secara prasangka mereka dan tanpa tabayyun pada ahli tawassul itu membuktikan, bahwa kedangkalan ilmu kaum wahabi terhadap amaliyah kaum muslimin AHLUSSUNNAH WAL JAMAA'AH secara umum.

   Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut.Allah SWT telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas;sebab akibat.Sebagai contoh,Allah SWT sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun,namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya.
Allah SWT berfirman:

"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu,dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,kecuali bagi orang-orang yang khusyuk" (QS.al-Baqarah: 45).

   Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Artinya,carilah sebab-sebab tersebut,kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah SWT telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab di penuhinya permohonan hamba. Padahal Allah maha kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu,kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah SWT.

   Jadi tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh syara' sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik disaat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemulian dan ketinggian derajat mereka. Ketika seorang nabi atau wali masih hidup,Allah yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal,Allah juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali itu sendiri. Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah,meskipun keyakinan pencpta kesembuhan adalah Allah,sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh sabab 'adi (sebab-sebab amaliyah),maka tawassul adalah sebab syar'i (sebab-sebab yang diperkenankan syara'). Seandainya tawassul bukan sabab syar'i, maka Rosulullah tidak akan mengajarkan orang buta (yang datang kepadanya) agar ber-tawassul dengannya. Dalam hadist shahih,Rosulullah mengajarkan kepada orang buta untuk berdoa dengan menggucapkan:

"Allahumma inni as aluka wa atawajjahu ilaka bi nabiyyina muhammadin nabiyyirrohmati, ya muhammadu inni atawajjahu bika ila rabbi fii haajatii lituqdlolii"

"Ya Allah aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan nabi kami MUhammad ,nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad,sesungguhnya aku memohon kepada tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan"

   Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rosulullah ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya is diberikan kesembuhan oleh Allah ketika dia tidak berada di hadapan Nabi (tidak di majlis rosul) dan kembali ke majlis rasul dalam keadan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang menjadi saksi mata peristiwa ini,mengajarkan petunjuk tersebut  kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan r.a ,yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu saiyidina  Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasul. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut olah beliau dan permohonannya dipenuhi. Umat islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadist ini dan mengamalkannya hingga sekarang. Para ukama ahli hadist juga menuliskan hadist ini dalam karya-karya mereka seperti al-Imam Ahmad,al-Tarmidzi, dan menilainya shahih, al-Nasa'i dalam 'Amal al-yaum wa al-lailah, Ibn Khuzaimah dalam al-shahih, Ibn Majah,al-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir,al-Mu'jam al-Shaghir dan al-Du'a' dan menilainya shahih,al-Hakim dalam al-Mustadrak,dan menilainya shahih serta di akui oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah dan al-Da'awat al-Kabir dan ulama-ulama lain.

   Hadist ini adalah dalil bolehnya ber-tawassul dengan nabi,pada saat nabi masih hidup,dibelakannya (tidak di hadapannya). Hadist ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan nabi seteah beliau wafat seperti yang di ajarkan oleh para perawi hadist tersebut,yaitu sahabat Utsman bin Affan,karena hadist ini tidak hanya berlaku pada masa nabi hidup,tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar